Mengenang Atmakusumah: Jalan Panjang Seorang Wartawan
Senin, 6 Januari 2025 09:36 WIB
Tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja meninggal pada Kamis pekan lalu. Salah satu tokoh pers Indonesia yang terus berjuang untuk kemerdekaan pers.
***
Di ruang tengah rumahnya, sebuah rumah di Komplek PWI di Jakarta Timur, ia terbujur. Selembar kain batik menutupi seluruh tubuhnya, dari kaki hingga kepala. Silih berganti kerabat, sahabat, dan mereka yang mengenalnya, datang bersila atau bersimpuh di dekatnya: mendaraskan doa.
Di sebelah kanannya, di sebuah sofa yang menempel dinding, tempat saya dan dia berbincang-bincang sekitar lima bulan lalu, tiga wanita terpekur dengan wajah duka. Sekitar dua meter di kirinya, istrinya Sri Rumiati, duduk di atas kursi roda. Matanya menatap ke tubuh itu, suaminya, Atmakusumah Astraatmadja. “Pak Atma nggak ada…” katanya dengan suara perlahan kepada setiap tamu yang menyalaminya, Jumat 3 Januari lalu.
Pada Agustus 2024 silam, bersama sejumlah teman-teman LPDS (Lembaga Pers Dr. Soetomo) saya bertandang ke rumah Pak Atma -demikian kami memanggilnya. Pak Atma menyambut kami dengan senyum lebar. Badannya bugar. Kami berbincang-bincang, dengan suara agak keras -karena pendengaran Pak Atma yang berkurang- di rumahnya yang pada sejumlah dindingnya tergantung beberapa foto keluarga atau lukisan dirinya. “Buku-buku saya di atas akan saya serahkan ke LPDS, tolong nanti diambil,” ujarnya menunjuk perpustakaan pribadinya di lantai dua Kesehatannya tak memungkinkan ia untuk naik turun ke ruang itu lagi.
Lestantya Baskoro Bersama Pengurus LPDS menyambangi kediaman Atmakusumah Astraatmaja di Jakarta, Agustus 2024
Sebelumnya, pada pertengahan Juli 2023, dengan tiga teman LPDS lain, kami ke rumah Pak Atma untuk keperluan Podcast LPDS yang baru kami buat. Kami menyepakati Pak Atma narasumber pertama untuk podcast yang kami beri nama LPDS Circle itu. Pak Atma antusias untuk diwawancarai. Seorang teman membawa dua bungkus pizza yang lantas kami santap rama-ramai sembari mengobrol ngalor-ngidul. “Saya dapat rumah di sini karena saya sebagai redaktur, kalau yang pemimpin redaksi di sana, dapat bagian tanah lebih luas, hahaha,” katanya terkekeh sambil menunjuk arah utara.
Sesuai namanya, “Kompleks PWI,” rumah-rumah di tempat ini, dulu dihuni para wartawan. Gubernur Ali Sadikin yang membuatkan kompleks perumahan itu dan meresmikannya pada 1973. Untuk menciptakan kompleks perumahan tersebut, sebuah jalan baru diciptakan: membelah areal Pemakaman Kebon Nenas yang luas, yang sarat dengan makam Tionghoa. “Dulu tidak ada yang mau tinggal di daerah sini, ini tempat sepi sekali, pinggiran,” ujar Pak Atma.
Jumat pekan lalu, tempat itu, Pemakaman Kebon Nenas, menjadi rumah terakhir Pak Atma. Saat jenazah belum datang, sejumlah pelayat sudah lebih dulu menunggu di sana, termasuk Bagir Manan, mantan Ketua Dewan Pers periode 2010-2016. Para penggali makam sudah menyelesaikan tugasnya, menggali tanah. Sebuah tenda putih meneduhkan tempat itu. “Waktu saya masih SMA, beliau sudah menjadi wartawan terkenal. Saya sering membaca tulisan-tulisannya,” ujar Bagir Manan, mengenang Pak Atma, Ketua Dewan Pers pertama setelah era Reformasi, yang “pulang” Kamis, 2 Januari pada usia 86 itu.
***
LEBIH dari 6o tahun usia Atmakusumah dihabiskan di dunia jurnalistik, sebagai wartawan surat kabar harian, surat kabar mingguan, wartawan radio, juga wartawan kantor berita. Pada usia 19, setelah lulus SMA, pada 1957 ia menjadi wartawan Harian Indonesia Raya, surat kabar yang dipimpin Mochtar Lubis dan dikenal dengan berita dan editorialnya yang kritis terhadap pemerintah. Namun, baru sekitar sekitar setahun menjadi wartawan, Indonesia Raya, bersama sekitar sebelas media lainnya, dibredel dan Mochtar dijebloskan ke penjara dan mendekam selama sembilan tahun tanpa diadili. Inilah salah satu masa terkelam pers Indonesia dalam Rezim Orde Lama yang, seperti ditulis Edward C. Smith dalam bukunya Pembredelan Pers Indonesia (1949-1965), Pemerintah mengontrol informasi dengan melakukan sensor sebelum dan sesudah media diterbitkan.
Setelah Indonesia Raya dibredel, Atmakusumah sempat menjadi penulis pada Harian Pedoman pimpinan Rosihan Anwar. Atma bisa disebut tak asing dengan Rosihan. Saat masih di bangku SMA, ia sudah menjadi kontributor tetap pembuat teka-teki silang pada Majalah Siasat yang juga dipimpin Rosihan. Atmakusumah juga, seperti ditulisnya dalam bukunya Tuntutan Zaman Kebebasan Pers dan Berekspresi, yang mengusulkan agar Siasat -Majalah Politik dan Kebudayaan itu- mempunyai rubrik teka-teki silang.
Atma juga sempat bekerja pada Kantor Berita Persbiro Indonesia (PIA) yang dipimpin Djamaluddin Adinegoro sebelum kemudian menjadi wartawan Duta Masyarakat yang dipimpin Mahbud Djunaidi. Setelah itu ia kemudian menjadi wartawan Radio Australia (Australian Broadcasting Commission/ABC) dan menjadi wartawan radio Jerman, Deutsche Welle, sebelum kemudian pulang ke Tanah Air dan bekerja di Antara.
Namun, Indonesia Raya-lah rumah Atmakusumah sesungguhnya. Pada Oktober 1968 Pemerintah Orde Baru mengizinkan Indonesia Raya terbit kembali. Atmakusumah kembali bergabung dengan harian itu. Sikap redaksional Indonesia Raya tetap tak berubah. Seperti terhadap Rezim Orde Lama, koran ini juga tajam mengkritisi kebijakan Orde Baru. Salah satu pemberitaan Indonesia Raya paling fenomenal adalah saat harian itu mengungkap korupsi di tubuh perusahaan minyak nasional Pertamina pada 1968. Menurut Atmakusumah, seperti ia tulis dalam bukunya Membangun Pers Independen, pemberitaan Indonesia Raya mengenai korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam manajemen PT Pertamina merupakan salah satu karya jurnalistik penting selama surat kabar ini terbit pada masa Orde Baru.
Nasib pahit diterima Indonesia Raya pada 21 Januari 1974 seusai kerusuhan yang meledak di Jakarta pada 15 Januari 1974 -kemudian dikenal sebagai “Peristiwa Malari.” Bersama sekitar sebelas koran lain, Indonesia Raya dibredel. Saat diberangus, Mochtar Lubis tengah di luar negeri. Mochtar yang kemudian diperiksa Kejaksaan Agung meminta Atmakusumah membuat laporan tentang pemberitaan atau peristiwa terkait Indonesia Raya sebelum dibredel, hal-hal yang menurut Mochtar mungkin menjadi alasan Pemerintah memberangus korannya. Atma membuat laporan, selama lima tahun terakhir tidak ada peringatan apa pun dari pemerintah secara khusus atas berita-berita yang diturunkan Indonesia Raya. Satu-satunya peringatan, kata Atma, adalah saat Indonesia Raya menampilkan foto seorang striptease dari Australia yang dinilai sebagai pornografi.
Dampak pembredelan oleh Rezim Orde Baru itu luar biasa. Ignatius Haryanto, dalam skripsinya yang kemudian dibukukan, Pembredelan di Indonesia: Kasus Indonesia Raya, menulis. “Periswa 15 Januari 1974, yang berdampak pada penutupan 12 surat kabar dan majalah dalam waktu yang singkat memang merupakan suatu pukulan tersendiri bagi pers Indonesia. Jelas secara psikhologis akhirnya mereka sadar bahwa pemerintah tetap memiliki kekuatan untuk meredam suara-suara pers.”
Indonesia Raya akhirnya mati selamanya. Mochtar Lubis tak berniat menerbitkan media itu kembali. Kendati demikian, manajemen Indonesia Raya tak membiarkan begitu saja nasib wartawan dan karyawannya yang berjumlah sekitar 80-an. Menurut Atma, bertahun-tahun kemudian, manajemen ingin memberi “kenangan material” kepada para karyawan yang saat dibredel hanya mendapat pesangon kecil karena masalah keuangan harian itu. Pada 1980-an, setelah manajemen berhasil menjual aset-aset yang ada, mereka memanggil para karyawan Indonesia Raya yang sudah tercerai berai untuk mendapat tambahan pesangon. Menurut Atma, pihaknya sampai membuat pengumuman di media untuk “mencari dan memanggil” para eks karyawan Indonesia Raya tersebut.
***
SAYA kira, pembredelan-pembrelan inilah -juga pengalamannya sebagai wartawan di sejumlah negara- yang membuat Atmakusumah tak lelah-lelahnya memperjuangkan kemerdekaan pers d Indonesia. Ia paham wartawan atau media bisa salah, tapi membredel sebuah media -mematikannya berdasar kekuasaan dan ego politik- sesuatu yang harus dilawan. Penyelesaian sengketa sebuah media, menurut Atmakusumah, harus melalui hukum, tidak bisa sewenang-wenang.
Saat fajar reformasi muncul dan seiring itu Pemerintah mulai menggodok Rancangan Undang-Undang tentang Pers (yang kelak disahkan menjadi UU No. 40/1999), Atma diundang Pemerintah yang ketika itu tengah menyelesaikan draf RUU. Atma memprotes Pasal 6 (1) yang berbunyi, “Pers Nasional wajib menegakkan kebenaran dan keadilan serta bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa serta Pasal 8 yang menyatakan, “Penerbitan Pers yang bertentangan dengan konstitusi dan atau yang bertolak dari faham Komunisme/Marxisme-Lenisme dilarang yang ada dalam draf RUU itu. Atmakusumah menegaskan, dalam pekerjaan pers tidak mungkin bisa dilakukan pengukuran apakah karya jurnalistik yang disajikan pers “bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Perihal Pasal 8, dengan sinis ia berkomentar, “Kenapa tidak sekalian memasukkan ideologi oriter lain seperti fasisme, Machiavelli dan lain-lain?” Pemerintah menyerah, pasal-pasal itu kemudian di stip.
Atmakusumah rajin berkomunikasi dengan para sejawatnya -sekali pun lebih muda- baik di Indonesia maupun di luar negeri. Ia tidak ragu-ragu menelpon redaktur yang ia kenal, jika ia melihat media sang redaktur memuat berita yang menurutnya salah, khususnya dari sisi etika. Saat Harian Surya pada Juni 2009 menurunkan berita bersambung perihal seorang wanita yang menemukan ibunya setelah berpisah selama 28 tahun ia menilai tulisan itu melanggar etika jurnalistik. Judul tulisan itu antara lain, “Pisah 28 Tahun, Anak PSK Temui ibunya.”
Menurut Atmakusmah, menerangkan identitas “anak PSK” adalah pelanggaran kode etik. Lewat email ia menghubungi tiga sejawatnya di luar negeri meminta pendapat mereka. Arnold Zeitlin, mantan wartawan Associated Press yang juga visiting profesor di Departement Journalism, Guangdong University dan Janet Steele, pakar jurnalisme dari George Washington University, menegaskan penyebutan identitas itu dilarang karena merupakan masalah privat yang tidak boleh dipublikasikan. Ada pun Yasuo Hanazaki, mantan wartawan Harian Asahi Shimbun yang juga sebagai pengamat pers dan politik Asia, menyatakan boleh saja identitas anak pelacur itu ditulis sepanjang mendapat izin dari sang anak dan keluarganya. Kendati demikiaj, Yasuo tidak setuju jika judul itu menantumkan kata-kata “Anak Pelacur….” Atmakusumah sependapat dengan Yasuo. Ia kemudian menulis artikel pada Harian Surya dengan judul “Melindungi Indentitas Anak Pelacur.” Pendapat semua rekan-rekannya itu ia uraikan dalam tulisan yang dimuat pada Harian Surya, edisi 25 Juli 2009.
DENGAN segala pengalaman dan dedikasinya pada kemerdekaan pers, layak memang jika ia kemudian dipilih menjadi Ketua Dewan Pers pertama setelah era reformasi. Pada masa itu, puluhan media baru lahir, dengan berbagai berita dan tulisan yang demikian gamblang melanggar kode etik jurnalistik -sesuatu yang hingga kini juga masih terjadi. Atma berkeliling kota, mengajarkan sekaligus memperingatkan pers untuk menulis dan menghasilkan berita secara profesional.
Atmakusumah menjadi Ketua Dewan Pers dari 2000 hingga 2003. Sebelumnya, dari 1994 hingga 2002 ia menjadi Direktur Eksekutif LPDS. Pada 31 Agustus 2000 ia menerima penghargaan Ramon Magsaysay untuk kategori Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif dari The Ramon Magsaysay Award Foundation di Manila, Filipina.
LPDS bisa dikatakan “rumah kedua” Atmakusumah. Hampir semua buku terbitan LPDS -lembaga yang didirikan para tokoh Pers Indonesia pada 1988- Atmakusumah menjadi penyuntingnya. Saat saya menulis buku biografi Adinegoro, Melawat ke Talawi, Tapak Langkah Wartawan Adinegoro, yang diluncurkan bertepatan ulang tahun LPDS ke-35 pada 26 Juli 2023, Pak Atma juga saya minta ikut membaca dan mengoreksi naskah buku itu. Ia juga hadir dalam acara peluncuran buku tersebut.
Di rumahnya, bahkan setelah tak lagi di Dewan Pers dan aktif di LPDS, ia tetap berlangganan sejumlah media dan terus menulis berbagai artikel. Berbagai buah pikirannya -yang jika disarikan semua berbicara tentang pentingnya profesionalisme wartawan dan kemerdekaan pers- yang tersebar baik di dalam negeri maupun luar negeri dibukukan dalam sejumlah judul, antara lain, Pers Ideal untuk Masa Demokrasi, Tuntutan Zaman Kebebasan Pers dan Ekspresi, serta Membangun Pers Independen.
Amakusumah telah pergi. Pergi sebaik-baiknya seorang jurnalis yang meninggalkan mahkotanya: buku.
(Lestantya R. Baskoro: mantan wartawan Tempo, Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo-LPDS)

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Kasus Mobil RI 36 Raffi Ahmad dan Kepongahan Kekuasaan
Rabu, 15 Januari 2025 11:08 WIB
Mengenang Atmakusumah: Jalan Panjang Seorang Wartawan
Senin, 6 Januari 2025 09:36 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler